JAKARTA - Lebih 148,4 juta jiwa penduduk Indonesia atau 62,4% dari
total penduduk Indonesia terpapar bahaya gempa bumi dan tsunami.
Pengurangan risiko bencana
(PRB) gempa bumi dan tsunami mutlak dilakukan
demi melindungi masyarakat Indonesia. Dalam konteks PRB dan potensi
kerugian ekonomi akibat bencana gempa bumi dan tsunami, Indonesia perlu
aktif dalam menyebarluaskan perkembangan penanggulangan bencana ini
kepada masyarakat dan pemangku kebijakan, seperti pemahaman ancaman dan
tata kelola risiko bencana.
Latar
belakang di atas mendorong Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
untuk menyelenggarakan seminar nasional dengan tema “Membangun Kapasitas
dan Kesiapsiagaan Nasional dalam menghadapi ancaman Gempa bumi dan
Tsunami, Menuju Pembangunan yang lebih Aman Bencana.” Seminar yang
dibuka Kepala BNPB Willem Rampangilei membahas mengenai pentingnya kerja
bersama antara pemerintah, masyarakat, dan dunia usaha dalam
meningkatkan pemahaman terhadap risiko bencana, kewaspadaan,
kesiapsiagaan dan untuk peningkatan kesejahteraan bangsa.
Dalam
sambutan pembuka, Willem menyampaikan pemahaman terhadap risiko
bencana, kewaspadaan, kesiapsiagaan dan perubahan cara pandang dan
perilaku secara nasional dalam menghadapi risiko bencana gempa bumi dan
tsunami dari “ancaman” menjadi “peluang” untuk kesejahteraan bangsa
perlu ditingkatkan.
“Masukan
berupa pemikiran kritis dan diskusi bersama diharapkan dapat
menyempurnakan masterplan tsunami sebagai bentuk kristalisasi sinergitas
pembangunan nasional dan pengelolaan risiko bencana,” kata Willem pada
pembukaan seminar yang berlangsung pada Senin (28/8) di Graha BNPB,
Jakarta Timur.
Sementara
itu, Deputi Pencegahan dan Kesiapsiagaan BNPB B. Wisnu Widjaja
mengatakan bahwa bencana kapasitas dan kesiapsiagaan nasional dapat
terwujud dengan pelibatan berbagai pihak dalam bersinergi untuk
pengelolaan risiko bencana.
“Oleh
karena itu, peran lembaga usaha, peran akademisi, peran media
diperlukan untuk dapat memberikan solusi-solusi konkret untuk mewujudkan
masyarakat yang tangguh terhadap ancaman bencana, khususnya ancaman
bencana gempabumi dan tsunami.”
Wisnu
menambahkan bahwa kita bersama perlu memiliki paradigma bahwa bencana
tidak perlu diratapi, serta mindset positif terhadap fenoma alam yang
berakhir dengan dampak korban maupun kerusakan. Pemikiran positif sangat
membantu dalam peningkatan kesadaran kehidupan masyarakat dalam “living
harmony with risk.”
“Dengan
memahami dan mengantisipasi kejadian-kejadian bahaya di masa mendatang,
masyarakat, pemerintah dan lembaga-lembaga yang bergerak dalam bidang
pembangunan dapat mengurangi risiko bencana.”
Di
sisi lain, dalam konteks kapasitas dan kesiapsiagaan nasional, Direktur
PRB BNPB Lilik Kurniawan yang menyampaikan Indonesia sudah memiliki
Peta Risiko Bencana Gempabumi dan Tsunami. “Gambaran ancaman gempabumi
dan tsunami serta potensi yang demikian dasyatnya dapat mengakibatkan
korban jiwa, warga terdampak, kerugian ekonomi, serta kerusakan
infrastruktur yang kritis di Indonesia,” tambah Lilik yang juga
memberikan paparan pada seminar tersebut.
Menurut
Lilik, tingkat kerawanan, dampak, dan risiko bencana diperbesar dapat
dipicu oleh ketimpangan sosial-ekonomi yang semakin tajam sebagai akibat
dari krisis multi dimensi. Kian besarnya perhatian pada upaya
pengarusutamaan risiko juga dimotori oleh terus meningkatnya kerugian
yang ditimbulkan oleh bencana, yang terutama diakibatkan oleh
meningkatnya kerentanan aset ekonomi dan sosial serta kesejahteraan dan
penghidupan masyarakat terhadap bahaya alam.
Seminar
nasional dengan moderator budayawan Slamet Rahardjo ini menghadirkan
pembicara kunci dari Kementerian Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM),
Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Badan
Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG), Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Humanitarian
Openstreetmap Team (HOT), WeatherNews Inc., dan media massa Harian
Kompas.
Sutopo Purwo Nugroho
Kepala Pusat Data, Informasi dan Humas BNPB