INFO TERKINI

Waspadai potensi hujan sedang hingga lebat di wilayah Lombok Tengah, Lombok Utara, Lombok Timur, Sumbawa Bagian Tengah, Bima dan Dompu pada Siang hingga Malam hari, serta waspadai kenaikan tinggi gelombang yang mencapai ≥ 2.0 m di Selat Lombok , Selat Alas, dan Perairan Selatan NTB.

Selasa, 10 Januari 2017

Tambora

Letusan Tambora 1815 adalah salah satu letusan gunung berapi yang paling kuat dalam sejarah tertulis dan diklasifikasikan sebagai peristiwa dengan VEI-7.
Gunung Tambora terletak di pulau Sumbawa di Indonesia. Letusan ini dimulai pada 10 April 1815,[1] diikuti oleh antara enam bulan sampai tiga tahun meningkatnya kepulan dan letusan freatik kecil. Bumbungan letusannya menurunkan suhu global, dan beberapa ahli percaya hal ini menyebabkan pendinginan global dan kegagalan panen di seluruh dunia di tahun berikutnya, kadang dikenal sebagai tahun tanpa musim panas.[2]

Kronologi letusan


Daerah yang diperkirakan terkena abu letusan Tambora tahun 1815. Daerah merah menunjukan ketebalan abu vulkanik. Abu tersebut mencapai pulau Kalimantan dan Sulawesi (ketebalan 1 cm).
Gunung Tambora mengalami ketidakaktifan selama beberapa abad sebelum tahun 1815, dikenal dengan nama gunung berapi "tidur", yang merupakan hasil dari pendinginan hydrous magma di dalam dapur magma yang tertutup.[3] Di dalam dapur magma dalam kedalaman sekitar 1,5-4,5 km, larutan padat dari cairan magma bertekanan tinggi terbentuk pada saat pendinginan dan kristalisasi magma. Tekanan di kamar makma sekitar 4-5 kbar muncul dan temperatur sebesar 700 °C-850 °C.[3]
Pada tahun 1812, kaldera gunung Tambora mulai bergemuruh dan menghasilkan awan hitam.[4] Pada tanggal 5 April 1815, letusan terjadi, diikuti dengan suara guruh yang terdengar di Makassar, Sulawesi (380 km dari gunung Tambora), Batavia (kini Jakarta) di pulau Jawa (1.260 km dari gunung Tambora), dan Ternate di Maluku (1400 km dari gunung Tambora). Suara guruh ini terdengar sampai ke pulau Sumatera pada tanggal 10-11 April 1815 (lebih dari 2.600 km dari gunung Tambora) yang awalnya dianggap sebagai suara tembakan senapan.[5] Pada pagi hari tanggal 6 April 1815, abu vulkanik mulai jatuh di Jawa Timur dengan suara guruh terdengar sampai tanggal 10 April 1815.
Pada pukul 7:00 malam tanggal 10 April, letusan gunung ini semakin kuat.[4] Tiga lajur api terpancar dan bergabung.[5] Seluruh pegunungan berubah menjadi aliran besar api.[5] Batuan apung dengan diameter 20 cm mulai menghujani pada pukul 8:00 malam, diikuti dengan abu pada pukul 9:00-10:00 malam. Aliran piroklastik panas mengalir turun menuju laut di seluruh sisi semenanjung, memusnahkan desa Tambora. Ledakan besar terdengar sampai sore tanggal 11 April. Abu menyebar sampai Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Bau "nitrat" tercium di Batavia dan hujan besar yang disertai dengan abu tefrit jatuh, akhirnya reda antara tangal 11 dan 17 April 1815.[4]
Letusan pertama terdengar di pulau ini pada sore hari tanggal 5 April, mereka menyadarinya setiap seperempat jam, dan terus berlanjut dengan jarak waktu sampai hari selanjutnya. Suaranya, pada contoh pertama, hampir dianggap suara meriam; sangat banyak sehingga sebuah detasemen tentara bergerak dari Djocjocarta, dengan perkiraan bahwa pos terdekat diserang, dan sepanjang pesisir, perahu-perahu dikirimkan pada dua kesempatan dalam pencarian sebuah kapal yang semestinya berada dalam keadaan darurat.

 Letusan tersebut masuk dalam skala tujuh pada skala Volcanic Explosivity Index.[6] Letusan ini empat kali lebih kuat daripada letusan gunung Krakatau tahun 1883. Diperkirakan 100 km³ piroklastik trakiandesit dikeluarkan, dengan perkiraan massa 1,4×1014 kg.[7] Hal ini meninggalkan kaldera dengan ukuran 6–7 km dan kedalaman 600–700 m.[4] Massa jenis abu yang jatuh di Makassar sebesar 636 kg/m².[8] Sebelum letusan, gunung Tambora memiliki ketinggian kira-kira 4.300 m,[4] salah satu puncak tertinggi di Indonesia. Setelah letusan, tinggi gunung ini hanya setinggi 2.851 m.[9]
Letusan Tambora tahun 1815 adalah letusan terbesar dalam sejarah.[4][7] Letusan gunung ini terdengar sejauh 2.600 km, dan abu jatuh setidaknya sejauh 1.300 km.[4] Kegelapan terlihat sejauh 600 km dari puncak gunung selama lebih dari dua hari. Aliran piroklastik menyebar setidaknya 20 km dari puncak.

Akibat

Semua tumbuh-tumbuhan di pulau hancur. Pohon yang tumbang bercampur dengan abu batu apung masuk ke laut dan membentuk rakit dengan jarak lintas melebihi 5 km.[4] Rakit batu apung lainnya ditemukan di Samudra Hindia, di dekat Kolkata pada tanggal 1 dan 3 Oktober 1815.[7] Awan dengan abu tebal masih menyelimuti puncak pada tanggal 23 April. Ledakan berhenti pada tanggal 15 Juli, walaupun emisi asap masih terlihat pada tanggal 23 Agustus. Api dan gempa susulan dilaporkan terjadi pada bulan Agustus tahun 1819, empat tahun setelah letusan.
Dalam perjalananku menuju bagian barat pulau, aku hampir melewati seluruh Dompo dan banyak bagian dari Bima. Kesengsaraan besar-besaran terhadap penduduk yang berkurang memberikan pukulan hebat terhadap penglihatan. Masih terdapat mayat di jalan dan tanda banyak lainnya telah terkubur: desa hampir sepenuhnya ditinggalkan dan rumah-rumah roboh, penduduk yang selamat kesulitan mencari makanan.
...
Semenjak letusan, diare menyerang warga di Bima, Dompo, dan Sang’ir, yang menyerang jumlah penduduk yang besar. Diduga penduduk minum air yang terkontaminasi abu, dan kuda juga meninggal, dalam jumlah yang besar untuk masalah yang sama.
—Letnan Philips diperintahkan Sir Stamford Raffles untuk pergi ke Sumbawa.[5]
Tsunami besar menyerang pantai beberapa pulau di Indonesia pada tanggal 10 April, dengan ketinggian di atas 4 m di Sanggar pada pukul 10:00 malam.[4] Tsunami setinggi 1–2 m dilaporkan terjadi di Besuki, Jawa Timur sebelum tengah malam dan tsunami setinggi 2 m terjadi di Maluku.
Tinggi asap letusan mencapai stratosfer, dengan ketinggian lebih dari 43 km.[7] Partikel abu jatuh 1 sampai 2 minggu setelah letusan, tetapi terdapat partikel abu yang tetap berada di atmosfer bumi selama beberapa bulan sampai beberapa tahun pada ketinggian 10–30 km.[4] Angin bujur menyebarkan partikel tersebut di sekeliling dunia, membuat terjadinya fenomena. Matahari terbenam yang berwarna dan senja terlihat di London, Inggris antara tanggal 28 Juni dan 2 Juli 1815 dan 3 September dan 7 Oktober 1815.[4] Pancaran cahaya langit senja muncul berwarna orange atau merah di dekat ufuk langit dan ungu atau merah muda di atas.
Perkiraan kematian bervariasi, tergantung dari sumber yang ada. Zollinger (1855) memperkirakan 10.000 orang meninggal karena aliran piroklastik. Di pulau Sumbawa, terdapat 38.000 kematian karena kelaparan, dan 10.000 lainnya karena penyakit dan kelaparan di pulau Lombok.[10] Petroeschevsky (1949) memperkirakan sekitar 48.000 dan 44.000 orang terbunuh di Sumbawa dan Lombok.[11] Beberapa pengarang menggunakan figur Petroeschevsky, seperti Stothers (1984), yang menyatakan jumlah kematian sebesar 88.000 jiwa.[4] Tanguy (1998) mengklaim figur Petroeschevsky tidak dapat ditemukan dan berdasarkan referensi yang tidak dapat dilacak.[12] Tanguy merevisi jumlah kematian berdasarkan dua sumber, sumber dari Zollinger, yang menghabiskan beberapa bulan di Sumbawa setelah letusan dan catatan Raffles.[5] Tanguy menunjukan bahwa terdapat banyak korban di Bali dan Jawa Timur karena penyakit dan kelaparan. Diperkirakan 11.000 meninggal karena pengaruh gunung berapi langsung dan 49.000 oleh penyakit epidemi dan kelaparan setelah letusan.[12] Oppenheimer (2003) menyatakan jumlah kematian lebih dari 71.000 jiwa seperti yang terlihat di tabel dibawah.[7]
Perbandingan letusan gunung Tambora dan letusan gunung lainnya
Letusan Tahun Tinggi asap (km)  VEI  Perubahan musim panas Belahan bumi utara (°C) Kematian
Taupo 181 51 7  ? tidak diketahui
Baekdu 969 25 6–7  ?  ?
Kuwae 1452  ? 6 −0,5  ?
Huaynaputina 1600 46 6 −0,8 ≈1400
Tambora 1815 43 7 −0,5 > 71.000
Krakatau 1883 25 6 −0,3 36.600
Santamaría 1902 34 6 tidak terdapat perubahan 7.000-13.000
Katmai 1912 32 6 −0,4 2
Gunung St. Helens 1980 19 5 tidak terdapat perubahan 57
El Chichón 1982 32 4–5  ? > 2.000
Nevado del Ruiz 1985 27 3 tidak terdapat perubahan 23.000
Pinatubo 1991 34 6 −0,5 1202
Sumber: Oppenheimer (2003),[7] dan Smithsonian Global Volcanism Program untuk VEI.[13]

Pengaruh global


Jumlah konsentrasi sulfat di inti es dari Tanah Hijau tengah, tarikh tahun dihitung dengan variasi isotop oksigen musiman. Terdapat letusan yang tidak diketahui pada tahun 1810-an. Sumber: Dai (1991).[14]
Letusan gunung Tambora tahun 1815 mengeluarkan sulfur ke stratosfer, menyebabkan penyimpangan iklim global. Metode berbeda telah memperkirakan banyaknya sulfur yang dikeluarkan selama letusan: metode petrologi, sebuah pengukuran berdasarkan pengamatan anatomi, dan metode konsentrasi sulfat inti es, menggunakan es dari Tanah Hijau dan Antartika. Perkiraan beragam tergantung dari metode, antara 10 Tg S hingga 120 Tg S.[7]
Pada musim semi dan musim panas tahun 1816, sebuah kabut kering terlihat di timur laut Amerika Serikat. Kabut tersebut memerahkan dan mengurangi cahaya matahari, seperti bintik pada matahari yang terlihat dengan mata telanjang. Baik angin atau hujan tidak dapat menghilangkan "kabut" tersebut. "Kabut" tersebut diidentifikasikan sebagai kabut aerosol sulfat stratosfer.[7] Pada musim panas tahun 1816, negara di Belahan Utara menderita karena kondisi cuaca yang berubah, disebut sebagai Tahun tanpa musim panas. Temperatur normal dunia berkurang sekitar 0,4-0,7 °C,[4] cukup untuk menyebabkan permasalahan pertanian di dunia. Pada tanggal 4 Juni 1816, cuaca penuh es dilaporkan di Connecticut, dan dan pada hari berikutnya, hampir seluruh New England digenggam oleh dingin. Pada tanggal 6 Juni 1816, salju turun di Albany, New York, dan Dennysville, Maine.[7] Kondisi serupa muncul untuk setidaknya tiga bulan dan menyebabkan gagal panen di Amerika Utara. Kanada mengalami musim panas yang sangat dingin. Salju setebal 30 cm terhimpun didekat Kota Quebec dari tanggal 6 sampai 10 Juni 1816.
1816 adalah tahun terdingin kedua di Belahan Bumi Utara sejak tahun 1400 Masehi, setelah letusan gunung Huaynaputina di Peru tahun 1600.[6] Tahun 1810-an adalah dekade terdingin dalam rekor sebagai hasil dari letusan Tambora tahun 1815 dan lainnya menduga letusan terjadi antara tahun 1809 dan tahun 1810. Perubahan temperatur permukaan selama musim panas tahun 1816, 1817 dan tahun 1818 sebesar -0,51, -0,44 dan -0,29 °C,[6] dan juga musim panas yang lebih dingin, bagian dari Eropa mengalami badai salju yang lebih deras.
Perubahan iklim disalahkan sebagai penyebab wabah tifus di Eropa Tenggara dan Laut Tengah bagian timur di antara tahun 1816 dan tahun 1819.[7] Banyak ternak meninggal di New England selama musim dingin tahun 1816-1817. Suhu udara yang dingin dan hujan besar menyebabkan gagal panen di Kepulauan Britania. Keluarga-keluarga di Wales mengungsi dan mengemis untuk makanan. Kelaparan merata di Irlandia utara dan barat daya karena gandum, haver dan kentang mengalami gagal panen. Krisis terjadi di Jerman, harga makanan naik dengan tajam. Akibat kenaikan harga yang tidak diketahui menyebabkan terjadinya demonstrasi di depan pasar dan toko roti yang diikuti dengan kerusuhan, pembakaran rumah dan perampokan yang terjadi di banyak kota-kota di Eropa. Ini adalah kelaparan terburuk yang terjadi pada abad ke-19.[7]

Selasa, 03 Januari 2017

BENCANA ALAM DI INDONESIA

Berlokasi di Cincin Api Pasifik (wilayah dengan banyak aktivitas tektonik), Indonesia harus terus menghadapi resiko letusan gunung berapi, gempa bumi, banjir dan tsunami. Pada beberapa peristiwa selama 20 tahun terakhir, Indonesia menjadi headline di media dunia karena bencana-bencana alam yang mengerikan dan menyebabkan kematian ratusan ribu manusia dan hewan, serta menghancurkan wilayah daratannya (termasuk banyak infrastruktur sehingga mengakibatkan kerugian ekonomi).
Apalagi, musim hujan atau kemarau yang ekstrim (fenomena El Nino dan La Nina) bisa menghancurkan panen bahan makanan, memicu terjadinya inflasi dan menyebabkan tekanan finansial yang berat bagi kalangan kurang mampu di masyarakat Indonesia. Terakhir, bencana-bencana alam akibat ulah manusia (seperti kebakaran hutan yang disebabkan karena kebudayaan pembakaran ladang, biasanya di pulau Sumatra dan Kalimantan) bisa menyebabkan dampak-dampak yang sangat besar bagi lingkungan hidup.
Salah satu catatan penting adalah kenyataan bahwa keadaan infrastruktur dan properti di Indonesia terkenal lemah - akibat manajemen yang salah, kekurangan dana, kurangnya keahlian atau korupsi. Keadaan ini memperparah dampak-dampak buruk yang terjadi setelah bencana alam. Sementara itu di wilayah perkotaan, terutama di kota-kota besar seperti Jakarta, Surabaya, Medan dan Yogyakarta, ada kepadatan penduduk yang sangat tinggi. Maka kombinasinya kurangnya kualitas infrastruktur/properti dan padatnya penduduk di daerah perkotaan berarti sebuah bencana alam bisa menewaskan lebih banyak korban dari yang seharusnya terjadi karena akan membutuhkan tenaga yang lebih kecil untuk membuat bangunan runtuh di Indonesia.
Letusan Gunung Berapi di Indonesia
Indonesia adalah negara yang memiliki paling banyak gunung berapi aktif di seluruh dunia. Lempeng Eurasia, Lempeng Pasifik beserta Lempeng Indo-Australia adalah tiga lempeng tektonik aktif yang menyebabkan terjadinya zona-zona tumbukan yang kemudian membentuk gunung-gunung berapi ini. Indonesia diperkirakan memiliki 129 gunung berapi, semuanya diawasi dengan hati-hati oleh Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi. Hal ini dilakukan karena sejumlah gunung berapi di Indonesia terus menunjukkan aktivitas. Apalagi, diperkirakan lebih dari lima juta orang tinggal (dan/atau kerja) di "zona bahaya" sebuah gunung berapi (yang harus segera dievakuasi kalau gunungnya menunjukkan aktivitas yang naik secara signifikan).
Setidaknya ada satu letusan gunung berapi yang signifikan di Indonesia setiap tahun. Namun, biasanya hal ini tidak menyebabkan kerusakan yang besar bagi lingkungan atau menewaskan korban jiwa karena gunung-gunung berapi yang paling aktif terletaknya biasanya di tempat-tempat terpencil.
Beberapa peristiwa letusan gunung berapi yang berdampak berat dalam sejarah Indonesia disebutkan di tabel di bawah. Daftar ini hanya mencakup letusan yang berskala besar dan menewaskan paling sedikit 20 orang.

Gunung Api Lokasi Tanggal Letusan Korban Jiwa
Merapi Jawa Tengah 03 November 2010         138
Kelut Jawa Timur 10 Februari 1990          35
Galunggung Jawa Barat 05 April 1982          68
Merapi Jawa Tengah 06 Oktober 1972          29
Kelut Jawa Timur 26 April 1966         212
Agung Bali 17 Maret 1963       1,148
Merapi Jawa Tengah 25 November 1930       1,369
Kelut Jawa Timur 19 Mei 1919       5,110
Awu Sulawesi Utara 07 Juni 1892       1,532
Krakatau Selat Sunda 26 Augustus 1883      36,600
Galunggung Jawa Barat 08 Oktober 1822       4,011
Tambora Sumbawa 10 April 1815      71,000+

Tabel di atas menunjukkan bahwa Indonesia, rata-rata, diguncang oleh letusan gunung berapi besar (yang mengakibatkan banyak korban jiwa) setiap 15-20 tahun sekali.
Selain mengakibatkan korban jiwa, letusan gunung berapi bisa menyebabkan kerusakan yang berarti bagi ekonomi lokal dengan merugikan perusahaan-perusahaan kecil dan menengah yang terlibat di industri pariwisata, kuliner, akomodasi komersil, pertanian, perkebunan, dan peternakan.
Lihat peta gunung berapi terbesar di Indonesia
Toh, terjadi perkembangan yang positif. Saat ini letusan gunung berapi memakan lebih sedikit korban jiwa (dibandingkan dengan dulu) karena metode pengawasan gunung berapi yang lebih baik dikombinasi dengan evakuasi darurat yang lebih terorganisir. Namun, mengingat Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi dengan hati-hati memonitor semua gunung berapi di Indonesia dan langsung melapor kepada para otoritas dan penghuni lokal kalau sebuah gunung berapi menunjukkan aktivitas yang membahayakan, seharusnya jumlah korban jiwa sangat sedikit karena penghuni lokal punya cukup banyak waktu untuk meninggalkan zona bahaya (berbeda dengan gempa bumi, letusan gunung berapi tidak menyerang secara tiba-tiba melainkan memberi cukup banyak tanda peringatan sebelum menjadi bencana yang mengancam jiwa).
Masalahnya, banyak penduduk lokal menolak meninggalkan rumah mereka (yang berada di dalam zona bahaya). Penolakan ini bisa berhubungan dengan penghidupan mereka (misalnya peternakan atau kebun mereka - yaitu satu-satunya sumber pendapatan mereka - berada di dalam zona bahaya). Tetapi penolakan itu juga bisa dijelaskan karena sistem kepercayaan animisme (tanda peringatan gunung api - seperti abu dan guntur - dianggap tanda kemarahan nenek moyang mereka, dan dengan berdoa kepada dewa-dewa setempat, masyarakat lokal percaya bahwa mereka akan dilindungi).
Gempa Bumi di Indonesia
Gempa bumi mungkin adalah ancaman bencana alam terbesar di Indonesia karena terjadi tiba-tiba dan bisa menyerang wilayah padat penduduk, seperti kota-kota besar. Gempa bumi dengan kekuatan sekitar 5 atau 6 skala Richter terjadi hampir setiap hari di Indonesia namun biasanya tidak menyebabkan atau hanya sedikit menyebabkan kerugian. Kalau kekuatan gempa melewati 7 skala Richter, sebuah gempa bisa menyebabkan banyak kerusakan. Rata-rata, setiap tahunnya terjadinya satu gempa bumi dengan 7 skala Richter (atau lebih) di Indonesia dan menyebabkan jatuhnya korban jiwa dan kerusakan infrastruktur maupun lingkungan hidup. Di bawah ini terdapat daftar gempa bumi-gempa bumi yang terjadi dalam sejarah baru-baru ini dan menyebabkan kerusakan parah beserta korban jiwa paling tidak 20 orang:

Pulau Tanggal Kekuatan Korban Jiwa
Sumatra 07 Desember 2016      6.5         104
Sumatra 02 Juli 2013      6.1          42
Sumatra 25 Oktober 2010      7.7         435
Sumatra 30 September 2009      7.6       1,117
Jawa 02 September 2009      7.0          81
Sumatra 12 September 2007      8.5          23
Sumatra 06 Maret 2007      6.4          68
Jawa 17 Juli 2006      7.7         668
Jawa 26 Mei 2006      6.4       5,780
Sumatra 28 Maret 2005      8.6       1,346
Sumatra 26 Desember 2004      9.2      283,106

Gempa bumi merupakan ancaman konstan di Indonesia karena pertemuan lempeng tektonik dan aktivitas vulkanik di wilayah ini. Beberapa ilmuwan bumi saat ini sedang menunggu "gempa besar" berikutnya di Indonesia karena adanya tekanan berat pada salah satu batas lempeng besar bumi di sebelah barat Sumatra (yaitu "tabrakan" antara lempeng samudra India dan lempeng Asia), yang mirip dengan gempa berskala 9,2 yang terjadi pada tanggal 26 Desember 2004 dan menyebabkan tsunami yang parah (lebih banyak informasi tentang tsunami ini disediakan di bawah). Namun, ilmuwan tidak tahu kapan, atau di mana, gempa besar berikutnya akan terjadi.
Lihat peta Cincin Api Pasifik dan lempeng tektonik
Sebagian sebab dari banyaknya jumlah korban jiwa di Indonesia saat kena gempa bumi besar adalah karena konstruksi yang buruk dari rumah-rumah dan infrastruktur. Itu sebabnya mengapa gempa yang sedang bisa saja menyebabkan jatuhnya banyak korban, runtuhnya gedung-gedung, dan hilangnya tempat tinggal bagi banyak orang. Sebuah publikasi dari Bank Dunia (dirilis pada Oktober 2010) mengekspresikan kekuatiran akan dampak yang mengerikan yang terjadi apabila sebuah gempa dengan kekuatan 8,5 skala Richter terjadi di sebuah megapolitan seperti Jakarta.
Tsunami di Indonesia
Sebuah gempa bumi atau letusan gunung berapi dalam laut bisa menyebabkan gelombang tsunami yang memiliki dampak mengerikan bagi manusia dan semua objek di dekat laut. Pada tahun 2004, sejumlah negara di dunia diguncang oleh gempa bumi di Samudera Hindia dan tsunami yang menyusul kemudian, menewaskan 167.000 orang di Indonesia (terutama Aceh) dan mengakibatkan perpindahan lebih dari setengah juta orang karena ribuan rumah disingkirkan oleh air lautnya. Meskipun sebuah tsunami yang sangat besar seperti yang terjadi pada akhir tahun 2004 sangat jarang, wilayah Sumatra sering dikejutkan dengan gempa bumi di bawah laut yang berpotensi menyebabkan tsunami.
Dengan peristiwa tsunami 2004 masih segar di dalam ingatan, tingkat kekuatiran masyarakat sangat tinggi. Masyarakat Indonesia yang bertempat tinggal di desa-desa atau kota-kota dekat pantai sering melarikan diri ke wilayah perbukitan (yang terletak lebih ke tengah daratan) setelah sebuah gempa bumi terjadi karena mereka takut menjadi korban tsunami (walau biasanya alarm palsu karena tidak terjadinya tsunami). Rata-rata, setiap lima tahun sekali sebuah tsunami besar terjadi di Indonesia, biasanya di pulau Sumatra dan pulau Jawa. Pada umumnya, kerusakan pada infrastruktur melebihi jumlah korban jiwa. Ada alat-alat sistem peringatan yang dipasang di banyak area pantai namun ada laporan-laporan bahwa tidak semua peralatan itu berfungsi dengan baik.
Banjir di Indonesia
Musim hujan di Indonesia (yang terjadi dari Desember sampai Maret) biasanya menyebabkan curah hujan yang tinggi. Dikombinasikan dengan pengundulan hutan dan saluran-saluran air yang tersumbat oleh sampah, ini bisa menyebabkan sungai-sungai meluap dan terjadi banjir. Banjir dan tanah longsor terjadi di banyak wilayah di Indonesia dan bisa menyebabkan jatuhnya ratusan korban, hancurnya rumah-rumah dan infrastruktur lain, dan kerugian bagi bisnis-bisnis lokal. Bahkan di megapolitan seperti Jakarta, banjir terjadi secara reguler (setiap tahun) karena lemahnya manajemen air dikombinasikan dengan curah hujan yang tinggi. Misalnya pada Januari 2013, sebuah wilayah yang sangat luas dari Jakarta terkena banjir. Hal ini membawa dampak pada lebih dari 100.000 rumah dan menyebabkan hilangnya nyawa lebih dari 20 orang. Juga pada bulan Februari 2017 Jakarta diganggu oleh banjir besar yang menyebabkan ribuan rumah dibanjiri air keruh warna cokelat, kadang-kadang sedalam 1,5 meter.

Pada musim hujan banjir biasanya mengganggu saluran distribusi dan karena itu Indonesia cenderung mengalami tekanan inflasi selama bulan Januari dan Februari ketika musim hujan cenderung memuncak. Kondisi basah dapat diperburuk oleh fenomena cuaca La Nina. La Nina (pada dasarnya lawannya El Nino), adalah fenomena yang rata-rata terjadi sekali setiap lima tahun, membawa suhu laut lebih dingin dari rata-rata di daerah tropis Samudera Pasifik tengah dan timur. Oleh karena itu menyebabkan cuaca yang lebih basah dari biasanya di Asia Tenggara, biasanya dari bulan November sampai Februari.
Kebakaran Hutan Buatan Manusia di Indonesia
Secara umum, orang Indonesia memiliki kesadaran rendah akan praktik lingkungan yang berkelanjutan. Hal ini tercermin dari penggunaan praktik tebang-dan-bakar oleh petani dan perusahaan (sebuah strategi untuk membersihkan lahan demi perkembangan perkebunan, biasanya untuk perluasan perkebunan kelapa sawit atau industri pulp dan kertas), terutama di pulau Sumatra dan Kalimantan. Strategi tebang-dan-bakar adalah pilihan yang paling murah makanya sering digunakan. Meski praktik ini sebenarnya tidak diijinkan oleh hukum Indonesia, penegakan hukum yang lemah dan adanya korupsi memungkinkannya. Namun, praktik tersebut mengimplikasikan risiko dan dampak besar untuk lingkungannya.
Misalnya, kebakaran hutan yang terjadi pada bulan Juni sampai dengan Oktober 2015 sangat di luar kendali. Berdasarkan laporan Bank Dunia - yang dirilis pada bulan Desember 2015 - sekitar 100.000 titik api (kebakaran hutan) buatan manusia menghancurkan sekitar 2,6 juta hektar lahan antara bulan Juni dan Oktober 2015 dan menyebabkan kabut beracun menyebar ke bagian lain Asia Tenggara, sehingga menimbulkan ketegangan diplomatik. Bencana ini diperkirakan menelan biaya sebesar Rp 221 triliun (1,9 persen dari produk domestik bruto) dan mengeluarkan sekitar 11,3 juta ton karbon setiap hari (angka yang melebihi 8,9 juta ton karbon emisi harian di Uni Eropa), sehingga menjadi salah satu bencana alam terburuk dalam sejarah manusia.
Kebakaran hutan pada tahun 2015 menjadi sangat di luar kendali karena cuaca kering yang luar biasa. Fenomena cuaca El Nino, yang terkuat sejak tahun 1997, membawa cuaca kering yang parah ke Asia Tenggara dan oleh karena itu petugas pemadam kebakaran tidak bisa mengandalkan dukungan dari hujan. El Nino, yang (rata-rata) datang sekali setiap lima tahun, menyebabkan perubahan iklim di Samudera Pasifik kemudian menyebabkan kekeringan di Asia Tenggara dan karena itu juga mempunyai dampak besar terhadap panen komoditas pertanian.